Maritim Indonesia Bagian IV: Arah Strategi Pembangunan Negara Maritim
Oleh: Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS.
Maritim Indonesia Bagian IV: Arah Strategi Pembangunan Negara Maritim
A. Pembangunan Ekonomi
Maritim Indonesia Bagian IV – Kusumastanto (2006) mengemukakan bahwa konsep ekonomi kelautan mengedepankan pembangunan ekonomi yang mendayagunakan sumberdaya kelautan (ocean based resource) dan fungsi laut secara bijaksana sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan didukung oleh pilar-pilar ekonomi berbasis daratan (land based economy) yang tangguh dan mampu bersaing dalam kancah kompetisi global antar bangsa. Kusumastanto (1997), Kusumastanto et al (2000) dan Kusumastanto (2006) mengelompokkan aktivitas ekonomi di pesisir, laut dan lautan sebagai ekonomi kelautan (ocean economy) yang terdiri dari 7 (tujuh) sektor yakni perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri kelautan/maritim, transportasi laut, bangunan kelautan dan jasa kelautan. Batasan secara spasial ekonomi kelautan adalah ke darat adalah wilayah kabupaten/kota pesisir dan ke arah laut adalah wilayah laut sampai ZEE Indonesia serta Landas Kontinen Indonesia.
B. Potensi dan Keragaman Ekonomi Bidang Kelautan Indonesia
Keanekaragaman sumberdaya di bidang kelautan terlihat dari jenis potensi yang dimiliki yakni Pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) seperti sumberdaya perikanan beserta ekosistem laut dengan megabiodiversitasnya. Kedua, sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable) seperti sumberdaya minyak, gas, dan berbagai jenis mineral lainnya. Ketiga, selain dua jenis sumberdaya tersebut, juga terdapat berbagai macam fungsi dan jasa kelautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan nasional seperti transportasi laut, pariwisata bahari, energi terbarukan (pasang surut, OTEC dll), industri kelautan/maritim, dan jasa lingkungan laut. Potensi ekonomi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dalam pembangunan nasional.
Pengembangan perekonomian Indonesia belum memanfaatkan potensi kelautan sengan sungguh-sungguh yang ditunjukkan belum optimumnya perhatian terhadap ekonomi kelautan Indonesia. Potensi kekayaan pesisir dan laut belum menjadi basis ekonomi bagi pembangunan nasional. Hal ini dapat dilihat dari masih relatif tidak berkembangnya kontribusi ekonomi bidang kelautan dalam GDP nasional. Dibandingkan nilai ekonomi kelautan Jepang, Korea Selatan, Cina, mampu menyumbang hingga 48,4% bagi PDB nasionalnya, sedangkan ekonomi kelautan Vietnam bahkan memberikan kontribusi sebesar 57,63% dari total GDP pada tahun 2007 maka nampak ekonomi kelautan Indonesia kurang berkembang walaupun potensi yang dimilikinya lebih besar.
Kontribusi ekonomi bidang kelautan dinegara-negara Eropa, juga menunjukkan perkembangan, bahkan ada yang mencapai hampir 60% PDB. Proporsi ini bisa dikatakan besar jika dilihat panjang pantai dan kekayaan laut mereka memang relatif kecil jika dibandingkan Indonesia.
Bila dilihat dari kontribusi bidang kelautan terhadap Produk Domestik Bruto dibandingkan bidang lainnya sudah menunjukkan peran yang cukup besar namun kurang berkembang. Berdasarkan perhitungan dengan berbagai keterbatasan data yang tersedia, sejak tahun 1995-2005 kontribusi ekonomi bidang kelautan diperkirakan berkisar pada 20,06 % pada tahun 2000 hingga 22,42% dari total PDB pada tahun 2005, sektor pertambangan (minyak, gas dan mineral) memberikan kontribusi terbesar diikuti industri maritim. Perkembangan kontribusi bidang kelautan Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. sebagai berikut:
Tabel 2. Perkembangan Kontribusi ekonomi Bidang Kelautan Indonesia (1995-2005)
No. | Bidang Kelautan | Persentase ( %) Produk Domestik Bruto | ||||||||||
1995 | 1996 | 1997 | 1998 | 1999 | 2000 | 2001 | 2002 | 2003 | 2004 | 2005 | ||
1. | Perikanan | 1,54 | 1,51 | 1,99 | 2,45 | 2,31 | 2,29 | 2,43 | 2,56 | 2,59 | 2,66 | 2,79 |
2. | Pertambangan | 4,16 | 4,01 | 3,85 | 4,65 | 7,23 | 10,02 | 9,29 | 9,32 | 9,36 | 9,38 | 9,13 |
3. | Industri Maritim | 2,74 | 2,87 | 3,97 | 4,48 | 3,38 | 3,32 | 3,80 | 3,81 | 3,85 | 4,68 | 3,77 |
-Pengilangan Minyak Bumi | 1,05 | 1,03 | 1,58 | 1,40 | 1.20 | 1,22 | 2,09 | 2,00 | 2,01 | 2,05 | 2,10 | |
-LNG | 0,99 | 1,11 | 1,49 | 1,88 | 1,08 | 1,03 | 1,20 | 1,11 | 1,13 | 1,12 | 1,14 | |
-Industri maritim lainnya | 0,70 | 0,73 | 0,90 | 1,20 | 1,10 | 1,07 | 0,51 | 0,70 | 0,71 | 0,51 | 0,53 | |
4. | Transportasi Laut | 0,83 | 0,86 | 1,08 | 1,55 | 1,51 | 1,58 | 0,74 | 1,39 | 1,67 | 1,49 | 1,48 |
5. | Pariwisata Bahari | 0,79 | 0,73 | 0,86 | 2,21 | 1,53 | 1,44 | 1,47 | 1,56 | 1,52 | 1,51 | 1,52 |
6. | Bangunan Kelautan | 0,74 | 0,65 | 1,08 | 1,50 | 1,22 | 1,08 | 0,96 | 0,96 | 0,50 | 0,77 | 1,01 |
7. | Jasa Kelautan Lainnya. | 0,97 | 0,78 | 1,56 | 1,19 | 1,15 | 1,10 | 1,46 | 1,20 | 1,28 | 1,34 | 1,32 |
Jumlah PDB Bidang Kelautan | 12,37 | 11,41 | 14,39 | 18,13 | 18,6 | 20,06 | 20,15 | 20,71 | 20,77 | 20,83 | 22,42 |
Sumber: Kusumastanto (1997, 2000, 2003), PKSPL-IPB (2007)
Baca juga: Maritim Indonesia Bagian I: Visi Kelautan
Sektor-sektor yang ada dalam bidang ekonomi kelautan ini memiliki nilai ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang baik. ICOR merupakan indikator untuk mengukur sejauh mana efisiensi dari suatu investasi dimana semakin rendah angka ICOR menunjukkan investasi yang dilakukan semakin efisien.
Berdasarkan perhitungan Tabel Input-Output 2005, bahwa nilai ICOR terendah terdapat pada sektor wisata bahari dengan nilai indeks ICOR sebesar 3,01. Hal ini menunjukkan bahwa sektor wisata bahari merupakan bidang yang paling efisien dalam penanaman investasi jika dibandingkan dengan bidang lain. Dalam hal efesiensi penyerapan tenaga kerja dapat digunakan adalah ILOR (Incremental Labour Output Ratio).
Semakin besar nilai ILOR, maka penyerapan tenaga kerjanya akan semakin tinggi. Perhitungan pada tahun 2005 menunjukkan koefisien ILOR terbesar adalah sektor perikanan yaitu sebesar 14,02. Ini berarti sektor perikanan adalah sektor yang memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi. Oleh karena itu, pengembangan sektor ini akan mampu menjadi sebuah solusi bagi pengurangan angka pengangguran terutama masyarakat di pesisir. Nilai ICOR dan ILOR ke tujuh sektor dalam bidang kelautan tersebut disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Nilai ICOR dan ILOR Bidang Kelautan berdasarkan Tabel I-O tahun 2005
No. | Bidang Kelautan | Nilai ICOR | Nilai ILOR |
1. | Transportasi Laut | 3,65 | 12,11 |
2. | Industri Maritim | 3,39 | 11,16 |
3. | Perikanan | 3,30 | 14,02 |
4. | Energi dan Sumberdaya Mineral | 3,82 | 10,14 |
5. | Wisata Bahari | 3,01 | 13,09 |
6. | Bangunan Kelautan | 4,03 | 11,82 |
7. | Jasa Kelautan Lainnya | 3,34 | 13,20 |
Sumber: PKSPL-IPB (2007)
Berdasarkan UU No. 17/2007 tentang RPJN Tahun 2005-2025, bangsa Indonesia harus mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya kelautan yang terdiri dari transportasi laut, perikanan, pariwisata, pertambangan, industri maritim, bangunan kelautan, dan jasa kelautan menjadi tantangan yang perlu dipersiapkan agar dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa. Tujuh sektor dalam bidang kelautan yakni dua sektor sangat erat dengan sumberdaya pulih (renewable resources) yang menentukan keberlanjutan pembangunan di laut dan sektor lainnya tersebut perlu ditingkatkan agar dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Keragaan masing-masing sektor tersebut adalah sebagai berikut:
- Sektor Perikanan
Produksi perikanan Indonesia menunjukkan kecenderungan (trend) positif di mana pada tahun 2013 bernilai Rp 291.799.10 milyar dan menyumbang sekitar 2,75% dari total PDB (BPS, 2014). Namun demikian, jumlah ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan negara-negara produsen perikanan lainnya seperti China (17 juta ton/tahun) dan Peru (10,7 juta ton/tahun). Produksi perikanan ini hampir sama dengan negara-negara yang luas lautnya jauh lebih kecil dari Indonesia seperti Jepang (5 juta ton/tahun) dan Chile (4,3 juta ton/tahun). Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya produksi adalah terjadinya kerusakan ekosistem pesisir dan laut serta maraknya illegal fishing di Perairan laut Indonesia.
2. Sektor Wisata Bahari
Indonesia memiliki potensi wisata bahari yang besar, selain potensi yang didukung oleh kekayaan alam yang indah dan keanekaragaman flora dan fauna maupun kamajemukan budaya yang menarik wisatawan. Pembangunan wisata bahari dapat dilaksanakan melalui pemanfaatan obyek dan daya tarik wisata secara optimal. Berbagai obyek dan daya tarik wisata yang dapat dimanfaatkan adalah wisata alam (pantai), keragaman flora dan fauna (biodiversity), seperti taman laut wisata alam (ecotourism), wisata bisnis, wisata budaya, maupun wisata olah raga. Misalnya kawasan terumbu karang di seluruh perairan Indonesia luasnya mencapai 7.500 km2 dan umumnya terdapat di wilayah taman nasional laut. Selain itu juga didukung oleh 263 jenis ikan hias di sekitar terumbu karang tersebut. Potensi wisata bahari tersebut tersebar di sekitar 241 daerah Kabupaten/Kota.
Statistik kedatangan wisatawan mancanegara ke Indonesia menunjukkan terjadinya peningkatan dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2009 merupakan kunjungan tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir yaitu mencapai 6.323.730 kunjungan atau naik 1,43%. Penerimaan devisa negara dari sektor pariwisata sejumlah US$ 6.292,3 juta atau mengalami peningkatan sebesar 20,19% (Depbudpar, 2009).
3. Sektor Transportasi Laut
Jumlah kunjungan kapal di seluruh pelabuhan mengalami fluktuasi, meskipun secara umum mengalami trend positif. Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir (1995-2008) di beberapa pelabuhan strategis telah mengalami peningkatan jumlah kunjungan kapal lebih dari 45%. Tidak hanya itu, penambahan jumlah gross ton kapal juga mengalami peningkatan lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran kapal yang berlayar di perairan Indonesia semakin bertambah besar dan nilai perdagangan melalui jasa perhubungan laut semakin meningkat. Berdasarkan Kantor Administrasi Pelabuhan Indonesia, jumlah kunjungan kapal diseluruh pelabuhan di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 729.564 unit dengan jumlah total ukuran kapal sebesar 822.968.000 GT (Dephub, 2008).
4. Sektor Industri Maritim
Industri maritim adalah salah satu sektor dalam bidang kelautan yang dapat menjadi sumberdaya ekonomi potensial sebagai penyumbang penerimaan devisa negara. Kegiatan ekonomi industri maritim ini diantaranya adalah yang mencakup industri pengilangan minyak bumi dan LNG serta industri yang menunjang kegiatan ekonomi di pesisir dan laut, yaitu industri galangan kapal, mesin kapal dan jasa perbaikannya (docking).
Industri maritim nasional yang cukup potensial untuk dikembangkan adalah industri galangan kapal. Industri ini telah berkembang dan terbagi dalam tiga kategori industri, yaitu: (i) industri pembangunan kapal, (ii) industri mesin, spare parts, dan komponen yang diperlukan dalam konstruksi kelautan, serta (iii) industri pemeliharaan dan perbaikan kapal. Dalam masa dua dekade terakhir, ratusan hingga ribuan kapal telah dibangun oleh galangan kapal nasional yang meliputi kapal niaga, kapal untuk tujuan tertentu, kapal ikan, dan kapal perang, industri ini juga memerlukan dukungan industri mesin kapal dan sebagainya. Dalam konteks pemeliharaan, galangan kapal Indonesia belum mampu melakukan perbaikan kapal dengan ukuran lebih besar dari 20.000 DWT, karena ukuran docking domestik sangat terbatas.
5. Sektor Pertambangan (Energi dan Sumberdaya Mineral)
Menurut BPPT, dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70% atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekunguan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 cekungan baru diteliti sebagian, sedangkan 25 cekungan belum terjamah. Diperkirakan ke 40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 miliar barel setara minyak, namun baru 16,7 miliar barel yang diketahui pasti, sebanyak 7,5 miliar barel diantaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89.5 miliar barel berupa kekayaan belum terjamah.
Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 miliar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 miliar terdapat di laut dalam, Cadangan minyak bumi di daerah pesisir di Indonesia sampai dengan tahun 2007 telah mencapai 3,99 milliar barel dan yang potensial mencapai 4,41 milliar barrel, Cadangan gas bumi di daerah pesisir secara terbukti telah mencapai 106 TKK dan potensinya mencapai 59 TKK (DESDM, 2007).
Selain potensi tersebut berbagai potensi mineral seperti timah, mangan, bauksit, bijih besi, fosfor dan energi terbarukan yang tersedia di wilayah pesisir dan laut Indonesia namun belum dimanfaatkan secara optimal. Potensi tersebut dapat dikembangkan apabila investasi dan keberpihakan kebijakan terhadap kelautan dapat ditingkatkan.
6. Sektor Bangunan Kelautan
Sektor bangunan kelautan merupakan potensi ekonomi kelautan yang diantaranya berasal dari kegiatan penyiapan lahan sampai konstruksi bangunan tempat tinggal maupun bukan tempat tinggal di wilayah pesisir dan laut. Salah satu bangunan kelautan yang menjadi fokus utama adalah bangunan pelabuhan. Pelabuhan adalah pusat aktivitas perekonomian barang dan jasa (antar pulau, ekspor maupun ekspor), sehingga keberadaannya sangat diperlukan dalam pembangunan kelautan. Sistem pelabuhan Indonesia disusun menjadi sebuah sistem nasional yang terdiri atas sekitar 1.887 pelabuhan pada tahun 2007. Terdapat 111 pelabuhan, termasuk 25 pelabuhan ‘strategis’ utama, yang dianggap sebagai pelabuhan komersial dan dioperasikan oleh empat BUMN yakni PT Pelabuhan Indonesia I, II, III and IV maupun pelabuhan lainnya. Selain potensi tersebut aktivitas bangunan kelautan lainnya seperti konstruksi bangunan lepas pantai, pipa dan kabel bawah laut merupakan peluang ekonomi yang sangat potensial bagi Indonesia.
7. Sektor Jasa Kelautan
Jasa kelautan merupakan salah satu sektor yang berpotensi menjadi sumber penerimaan devisa negara melalui beberapa kegiatan yang bersifat menunjang dan memperlancar kegiatan pengangkutan yang meliputi jasa pelayanan pelabuhan, jasa pelayanan keselamatan pelayaran dan kegiatan yang memanfaatkan kelautan sebagai jasa seperti perdagangan, pendidikan, pelatihan, penelitian dan lain-lain. Lebih rinci lagi potensi ekonomi dari sektor jasa kelautan dapat berupa aktifitas ekonomi yang meliputi jasa perdagangan, penelitian, arkeologi laut dan benda muatan kapal tenggelam, jasa pengelolaan kabel dan pipa di dasar laut serta jasa-jasa lingkungan meliputi keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, pengolahan limbah secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih merupakan penopang kehidupan manusia.
Di bidang pengembangan sumberdaya manusia khususnya dalam bentuk pendidikan dan pelatihan guna menghasilkan tenaga yang terampil dalam melaksanakan pembangunan pembangunan kelautan di dalam maupun luar negeri, diantaranya dalam rangka mengisi peluang kebutuhan tenaga kepelautan (seafarer) yang dibutuhkan oleh dunia. Selain itu, keamanan dan keselamatan pelayaran merupakan sektor ekonomi yang potensial disamping peran TNI AL dalam menjaga kedaulatan NKRI.
C. Tatakelola Kelautan (Ocean Governance)
Pembangunan kelautan nasional saat ini masih masih berjalan sendiri-sendiri. Semua institusi negara yang berkepentingan dengan laut membuat kebijakan lebih bersifat sektoral. Belum ada suatu mekanisme atau aransemen kelembagaan yang mampu mensinergikan dan memadukan kebijakan pembangunan kelautan. Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) seharusnya dapat mengembangkan perannya dalam koordinasi pembangunan kelautan atau dibentuk Kementerian Koordinator Kelautan. Ketidak terpaduan kebijakan pembangunan tersebut berdampak pada penanganan suatu program dalam pembangunan kelautan acapkali menimbulkan konflik kepentingan ketimbang solusi integral, hal tersebut menunjukan tidak adanya koordinasi pembangunan yang baik di bidang kelautan. Dari berbagai pengalaman pembangunan selama ini, nampak jelas bahwa pembangunan kelautan memang membutuhkan mekanisme koordinasi dan aransemen kelembagaan yang mampu memadukan semua kepentingan institusi negara yang terlibat. Peran institusi negara di laut disajikan secara ringkas pada Lampiran 1 yang menampilkan peran masing-masing institusi negara yang berkaitan dengan pembangunan kelautan.
Lampiran 1 menunjukkan bahwa tanggung jawab/kewenangan pembangunan kelautan melibatkan berbagai pihak. Dengan mempertimbangkan aspek keterkaitan maka pembangunan kelautan tersebut tidak dapat hanya dilakukan oleh sebuah institusi negara yang kewenangannya terbatas atau derajat institusionalnya sejajar dengan lembaga negara yang lainnya. Dengan demikian, agar bidang kelautan menjadi sebuah bidang unggulan dalam perekonomian nasional, maka diperlukan suatu kebijakan pembangunan yang bersifat terkordinasi dan terintegrasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan. Guna mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan sebuah tatakelola kelembagaan kelautan (ocean governance).
Kooiman et.al (2005) mendefinisikan tatakelola (governance) sebagai keseluruhan interaksi antara sektor publik dan sektor privat untuk memecahkan persoalan publik (societal problems) dan menciptakan kesempatan sosial (social opportunities). Dalam konteks kelautan, tata kelola dapat didefinisikan sebagai sejumlah kebijakan dalam bidang hukum, sosial, ekonomi, dan politik yang digunakan untuk mengatur dan mengelola kelautan dalam rangka mencapai kesejahteraan bangsa. Tatakelola memiliki dimensi internasional, nasional dan lokal dan termasuk aturan-aturan yang mengikat secara hukum. Dengan demikian, pendekataan kelembagaan (institutional arrangement) diharapkan mampu mewujudkan Kebijakan Pembangunan Kelautan Nasional (National Ocean Development Policy) yang terintegrasi dan holistik.
Institutional arrangement mencakup dua dominan dalam suatu sistem ketatanegaraan yakni eksekutif, legislative dan yudikatif. Dalam konteks itu, maka kebijakan kelautan pada akhirnya menjadi kebijakan negara yang nantinya menjadi tanggung jawab bersama pada semua level institusi eksekutif, legislatif dan yudikatif yang mempunyai keterkaitan kelembagaan maupun sektor pembangunan. Sementara pada level legislatif adalah bagaimana lembaga ini mampu menciptakan instrumen kelembagaan (peraturan perundang-undangan) pada level pusat maupun daerah untuk mendukung kebijakan pembangunan kelautan (Kusumastanto, 2003, 2010). Secara skematis model alur kebijakan pembangunan kelautan yang dimaksud dijelaskan pada Gambar 1.
Keterangan : Alur Kebijakan Pola interaksi Implikasi
Gambar 1. Aransemen Kelembagaan dalam Tata kelola Kelautan
Berdasarkan Gambar 1, maka perumusan kebijakan pembangunan kelautan akan melingkupi tiga tingkatan, yaitu: (1) tingkatan politis (kebijakan), (2) tingkatan organisasi/implementasi (institusi, aturan main), dan (3) tingkatan implementasi (evaluasi, umpan balik). Aplikasi atau simplifikasi model hierarkis ini dalam konteks kebijakan pembangunan kelautan dijelaskan sebagai berikut. Pada tingkat politis terdapat lembaga tinggi negara dan atau lembaga legislatif, sedangkan pada tingkat organisasi ditempati oleh lembaga-lembaga kementerian dan non-kementerian yang memiliki wilayah yang sama dengan bidang kelautan. Dengan demikian pada, level ini terdapat hubungan antara lembaga pemerintah (intergovernmental organization, IGO) yang bersifat koordinatif, dan saling mendukung. Sedangkan, pada tingkat implementasi terdapat masyarakat, perbankan, nelayan dan petani ikan, kalangan pengusaha dan sebagainya yang berperan dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang kelautan.
Selain penataan kelembagaan diatas, diperlukan penataan hukum yang terkait di bidang kelautan. Penataan tersebut bukan hanya menata undang-undang yang sudah ada, melainkan juga menambahkan undang-undang yang belum ada namun diperlukan sehingga mampu mewujudkan arsitektur bangunan hukum kelautan yang ideal (Gambar 2).
Dalam arsitektur bangunan hukum setidaknya terdapat lima elemen, yaitu: Pertama, elemen pondasi, yaitu unsur hukum yang menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI yang dalam bagian ini terdapat 5 undang-undang, yaitu UU No. 1/1973 tentang Landas Kontinen, UU No. 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, UU No. 17/1985 tentang Pengesahan UNCLOS, UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia, dan UU No. 43/2008 tentang Wilayah Negara.
Gambar 2. Arsitektur Hukum di Bidang Kelautan yang Ideal
(dimodifikasi dari Kusumastanto, et al, 2008)
Kedua, elemen pilar, yaitu unsur hukum yang menopang keutuhan dan kedaulatan NKRI serta terjaganya dari pelanggaran hukum yang dalam bagian ini terdapat 11 undang-undang, yaitu UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 9/1992 tentang Keimigrasian, UU No. 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, UU No. 5/1994 tentang Pengesahan Konvensi Keanekaragaman Hayati, UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI, UU No. 3/2004 tentang Pertahanan Negara, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, UU No. 17/2006 jo UU No. 10/1995 tentang Kepabeanan, dan UU No. 23/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ketiga, elemen plafon, yaitu unsur hukum yang mengatur pemanfaatan sumberdaya ekonomi di wilayah laut yang pada bagian ini terdapat 10 undang-undang, yaitu UU No. 5/1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU No. 30/2007 tentang Energi, UU No. 17/2008 tentang Pelayaran, UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 10/2009 tentang Kepariwisataan, UU No. 45/2009 jo. 31/2004 tentang Perikanan.
Keempat, elemen atap, yaitu unsur hukum yang menjadi payung hukum dalam membangun Indonesia sebagai negara kepulauan, yaitu Undang-undang Kelautan. Dengan demikian, arsitektur hukum di bidang kelautan perlu undang-undang yang menjadi payung hukum yaitu UU Kelautan.
Selain itu, eksekutif dan legislatif juga harus segera menyusun tiga undang-undang pada bagian pondasi, yaitu UU Perairan Pedalaman, UU Zona Tambahan, dan UU Landas Kontinen. Khusus untuk Landas Kontinen Indonesia, meski sudah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1973, namun undang-undang tersebut masih mengacu kepada Konvensi Jenewa Tahun 1958 yang berdasarkan pada kedalaman laut secara vertikal. Sementara aturan UNCLOS 1982, selain berdasarkan vertikal juga berdasarkan horizontal.
Penutup
Kelautan adalah tumpuan masa depan Indonesia yang harus dikembangkan secara lestari dan mampu mensejahterakan segenap komponen bangsa di tanah airnya sendiri serta sebagai unsur utama dalam membangun Indonesia sebagai Negara Maritim. Pembangunan kelautan memerlukan suatu perencanaan yang terkoordinasi, komprehensif dan berpihak terhadap kepentingan masyarakat serta lingkungan. Oleh karenanya keterpaduan tujuan pembangunan antar stakeholders serta antar sektor dalam bidang kelautan harus dapat dituangkan melalui kebijakan dan strategi pembangunan nasional yang dapat diimplementasikan.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan suatu kebijakan pembangunan kelautan nasional (National Ocean Development Policy) yang integral dan komprehensif dalam satu kesatuan strategi pembangunan nasional. Kebijakan tersebut diharapkan menjadi payung politik bagi semua institusi negara, swasta dan masyarakat yang mendukung transformasi Indonesia menjadi Negara Maritim yang maju, adil, mandiri berbasiskan kepentingan nasional.
Pengembangan formulasi kebijakan tersebut terdiri dari pilar utama yakni Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) dengan pilar pendukung penting yakni Kebijakan Ekonomi Kelautan (Ocean Economic Policy) yang mampu mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi nasional serta Kebijakan Tatakelola Kelautan (Ocean Governance Policy) yang jujur, bersih, dan berwibawa yang diperkuat dengan Kebijakan Lingkungan Laut (Ocean Environmental Policy), Kebijakan Budaya Bahari (Maritime Culture Policy), dan didukung Kebijakan Keamanan Maritim (Maritime Security Policy) yang kuat.
Dengan demikian kelautan sebagai arus utama dalam pembangunan Negara Maritim, maka pendekatan kebijakan yang dilakukan harus dilaksanakan secara terpadu antar sektor ekonomi dalam lingkup bidang kelautan maupun sektor ekonomi berbasis daratan bagi kemakmuran bangsa dan negara Indonesia.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik [BPS]. 2010. Statistik Indonesia 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral [DESDM]. 2007. Publikasi Media. https://dtwh2.esdm.go.id/dw2007/.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata [Depbudpar]. 2009. Buku Saku Statistik Kunjungan Wisatawan Mancanegara 2009. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
Departemen Perhubungan [Dephub]. 2008. Buku Informasi Transportasi Departemen Perhubungan. Jakarta: Departemen Perhubungan Republik Indonesia.
Djamin, A. 2001. Ir. H. Djuanda: Negarawan, Administrator dan Teknokrat. Jakarta. Kompas.
Friedheim, R.L. 2000. Ocean Governance at the Millenium: where we have been – whwrw we should go. Ocean & Coastal Management 2000:42 (9); 747-65.
Kooiman J., M. Bavinck, S. Jentoft and R. Pullin. (Eds.). 2005. Fish for Life: Interactive Governance for Fisheries. Amsterdam University Press.
Muhjidin, A.M. 1993. Status Hukum Perairan Kepulauan Indoesia dan hak Lintas Kapal Asing. Bandung: Alumni.
Nichols, S, D. Monahan and Shuterland. 2003. Good Governance of Canada’s Offshore and Coastal Zone: Towards an Understanding of the Maritime Boundary Issues.
Kusumastanto, T. 1997. Rencana Aksi Pembangunan Kelautan Nasional. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Lautan-Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), Bogor
Kusumastanto, T. et al. 2000. Kajian Kontribusi Ekonomi Sektor Kelautan dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI.
Kusumastanto, T. 2002. Reposisi Ocean Policy dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), Bogor.
_______________ 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
______________. 2006. Ekonomi Kelautan (Ocean Economics – Oceanomics). PKSPL-IPB.Bogor
Kusumastanto, T. et.al. 2008. Perencanaan Pengembangan Hukum Nasional Tentang Kelautan. Badan Pembinaan Hukum Nasional, RI. Jakarta
Kusumastanto, T. et al. 2010. Kebijakan Kelautan Indonesia (Indonesia Ocean Policy). Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN). Jakarta.
Kusumastanto, T. 2010. Kebijakan Tatakelola Kelautan Indonesia (Indonesia Ocean Governance Policy). PKSPL-IPB. Bogor.
Kusumastanto, T. 2011. Kebijakan Kelautan Nasional. Seminar Kelautan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Kusumastanto, T. et. Al. 2011. Kebijakan Ekonomi Kelautan Indonesia. Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN). Jakarta.
Kusumastanto. T. et al. Kebijakan Tata Kelola Kelautan Indonesia. Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN). Jakarta.
Kusumastanto, T. 2012. Pembangunan Pulau-pulau Kecil Terluar Dalam Kerangka Ketahanan dan Keberlanjutan Bangsa. Round Table Discussion LEMHANAS. Jakarta.
Kusumastanto, T. 2013. Pengembangan Ekonomi Maritim: Tantangan Perekonomian Indonesia. Program Studi Pascasarjana Port, Shipping and Logistics Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan [PKSPL-IPB]. 2007. Kajian Kontribusi Bidang Kelautan. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.
World Resource Institute [WRI]. 2001. Coastal Ecosystem: Pilot Analysis of Global Ecosystems. Washington DC.
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS. : Ketua Senat Akademik IPB, Guru Besar Kebijakan Ekonomi Kelautan IPB dan Ketua Program Pasca Sarjana Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. (Tulisan ini merupakan senarai dari beberapa paper yang disampaikan dalam berbagai forum untuk memajukan kelautan dan maritim Indonesia).
Artikel:
Maritim Indonesia Bagian IV | Maritim | Indonesia | Maritim Indonesia | Maritim Indonesia: Arah Strategi Pembangunan | Maritim Indonesia Bagian IV | Maritim Indonesia: Arah Strategi Pembangunan Negara Maritim | Maritim Indonesia Bagian IV: Arah Strategi Pembangunan Negara Maritim | Maritim Indonesia Bagian IV | Maritim Indonesia: Ocean Policy | Maritim Indonesia Bagian IV | Visi Maritim Indonesia | Maritim Indonesia Bagian IV | Visi Kelautan Maritim Indonesia | Maritim Indonesia Bagian IV | Maritim Indonesia Bagian IV | Strategi Maritim Indonesia | Maritim Indonesia Bagian IV | Arah Strategi Maritim Indonesia | Maritim Indonesia Bagian IV
Membangun Maritim Indonesia | Maritim Indonesia Bagian IV | Arah dan Strategi dalam Membangun Maritim Indonesia | Maritim Indonesia Bagian IV | Geo- Strategi Indonesia | Indonesia Mandiri | Batas Maritim Indonesia | Maritim Indonesia Bagian IV | Sumbe Daya Alam Laut | Maritim Indonesia Bagian IV: Arah Strategi Pembangunan Negara Maritim | Maritim Indonesia Bagian IV | Ocean Policy | Maritim Indonesia Bagian IV | Pengembangan Kelautan Nasional | Maritim Indonesia Bagian IV | Friedheim | Maritim Indonesia Bagian IV | Perubahan Politik Dunia | Maritim Indonesia Bagian IV | Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS. | Industri Maritim | Maritim Indonesia Bagian IV | Pembangunan Pengembangan Maritim | Negara Maritim | Maritim Indonesia Bagian IV
Maritim Indonesia Bagian IV | Maritim | Indonesia | Maritim Indonesia | Maritim Indonesia: Arah Strategi Pembangunan | Maritim Indonesia Bagian IV | Maritim Indonesia: Arah Strategi Pembangunan Negara Maritim | Maritim Indonesia Bagian IV: Arah Strategi Pembangunan Negara Maritim | Maritim Indonesia Bagian IV | Maritim Indonesia: Ocean Policy | Maritim Indonesia Bagian IV | Visi Maritim Indonesia | Maritim Indonesia Bagian IV | Visi Kelautan Maritim Indonesia | Maritim Indonesia Bagian IV | Maritim Indonesia Bagian IV | Strategi Maritim Indonesia | Maritim Indonesia Bagian IV | Arah Strategi Maritim Indonesia | Maritim Indonesia Bagian IV
Membangun Maritim Indonesia | Maritim Indonesia Bagian IV | Arah dan Strategi dalam Membangun Maritim Indonesia | Maritim Indonesia Bagian IV | Geo- Strategi Indonesia | Indonesia Mandiri | Batas Maritim Indonesia | Maritim Indonesia Bagian IV | Sumbe Daya Alam Laut | Maritim Indonesia Bagian IV: Arah Strategi Pembangunan Negara Maritim | Maritim Indonesia Bagian IV | Ocean Policy | Maritim Indonesia Bagian IV | Pengembangan Kelautan Nasional | Maritim Indonesia Bagian IV | Friedheim | Maritim Indonesia Bagian IV | Perubahan Politik Dunia | Maritim Indonesia Bagian IV | Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS. | Industri Maritim | Maritim Indonesia Bagian IV | Pembangunan Pengembangan Maritim | Negara Maritim | Maritim Indonesia Bagian IV